Selasa, 02 November 2010

POSITIVISME AUGUSTE COMTE

POSITIVISME AUGUSTE COMTE
(Kajian Epistemologi dan Relevansinya Bagi Ilmu Pendidikan Islam)
Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

  1. Pendahuluan
Makalah ini akan jadi lebih nikmat bila kita bangun tidur lalu berhasil menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini ; apakah sumber-sumber pengetahuan itu?, apakah watak dari pengetahuan itu?, dan apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?, persoalan yang mendasar inilah mungkin yang akan menjadi acuan pendobrak idealisme kita sebagai Agen of Change (dalam hal ini sebagai mahasiswa yang dalam proses pengembangan sumber dayanya) dalam bidangnya masing-masing. Alur cuaca yang memaksa kita untuk mengetahui dan banyak bertanya atas dasar  ketidaktahuan ataupun atas pengetahuan yang ada, dengan demikian kemungkinan inisiatif yang akan lahir dengan tanda tanya yang lebih besar, dan semakin membesar adalah  dari mana pengetahuan itu benar datang, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya, ini semua adalah problema asal (origin), lalu datang lagi tanda Tanya yang agak besar dari sebelumnya, adakah dunia yang riil diluar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahuainya? ini semua adalah problema penampilan (appearance) terhadap relita, sementara itu hal yang tidak kalah pentingnya, bahkan tidak kalah besar tanda tanyanya adalah sebuah problematika kebenaran (verification) yang memuntahkan nalar yang lebih tajam sehingga kita harus membingungkan diri dalam membedakan antara kebenaran dan kekeliruan terhadap pengetahuan kita (viliditas jadi barometernya).
Pada dasararnya hal-hal tersebut di atas merupakan analisa pengembangan dari ilmu filsafat yang disebut dengan epistemology[1], secara fokus aplikatifnya, bagian ini hanya berotasi di poros kebenaran dan kekeliruan, tentu hal ini membuat kita akan terus mencari dan tidak akan puas dengan apa yang kita peroleh dan dengan apa yang telah dihidangkan oleh pendapat-pendapat para pemikir (philofsof) yang lengkap dengan sangkahan-sangkahannya itu, atau kita hentikan kemampuan kita yang hanya cukup dalam batasan indra saja, atau sebaliknya, jauh lebih mendalam dari sekedar indra, bahkan nurani?. Menurut kami mengkaji filsafat dari segi epistemologinya sama saja membongkar “isi otak” para philosof, dan “membedah” sejarah yang serba ruwet dari zaman ke zaman, begitu banyak gejolak yang terjadi, sehingga seolah-olah fenomena browsing kebenaran semakin menjadi santapan dari bangun tidur hingga mereka tidur kembali.
Pada abad ke-19, merupakan abad yang ruwet dibanding dengan abad-abad yang sebelumnya. Mulai abad ini filsafat terpecah belah menjadi filsafat Jerman, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Amerika dan filsafat Rusia. Sifat keegoisan pemikiran pun mulai tumpang tindih pada saat itu, masing-masing membentuk kepribadiannya sendiri-sendiri denga cara dan pengertian dasar sendiri-sendiri.[2] selain luasnya daerah filsafat salah satu faktor lain ruwetnya abad ini adalah produksi yang dihasilkan mesin-mesin sangat mengubah masyarakat dan memberikan kepada manusia suatu konsepsi baru tentang kuasa dalam hubungannya dengan alam sekitar.[3]
Pada abad inilah dasar-dasar pemikiran positivistik mulai cair, yaitu analisa dari fakta-fakta dan penampkan serta gejala yang timbul setelah adanya reaksi dan nantinya dapat menjadi efek bagi kehidupan selanjutnya, melihat kebutuhhan masa depan dengan identifikasi syarat-syarat fakta yang muncul dan memungkinkan untuk dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya.[4] Sekilas pemikiran yang dicetuskan oleh August Comte ini serupa dengan empirisme seperti yang timbul di inggris, bahwa keduanya mengutamakan pengalaman, lantas anda tentu akan berfilsafat sendiri dan bertanya dimana titik perbedaannya?, jawabannya akan kami terangkan kemudian. Sangat menakjubkan jika kita menyelami otak bapak Sosiologi ini, bagaimana tidak?, beliau akan menyebrangkan kita ke dalam 3 alam dan 3 zaman pemikiran, entah itu bagi pemikiran perorangan maupun pemikiran seluruh umat. Lantas apakah cukup sampai di dermaga positivestik saja petualagan kita, bagaimana dengan ilmu yang bisa kita tawarkan bagi pendidikan negeri kita yang unik ini?
  1. Kehidupan Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1857)
 
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Prancis bagian selatan pada 17 Januari 1798. ia berasal dari keluarga yang beragama katolik[5] setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[6] Masa pendidikannya di Ecole Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[7] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[8]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[9]
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri.
Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Peristiwa ini berawal dari kisah percintaannya dengan seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit mental, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Cours. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42. Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.
Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-54.[10] jauh sebelum hal tersebut, Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari "agama kemanusiaan" (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Systeme de politique positive itu (1851 - 1854). Dalam perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.[11]

    C.            Mengenal Teori Positivisme dan kritiknya dalam pengetahuan.
Positivisme berasal dari kata “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[12] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[13] Hal ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora.
Dari deskripsi makna positivisme tersebut, dapat di analisakan bahwa Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu dalam bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala tersebut, setelah hokum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.[14] 
Menurut teori positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan, maka filsafat pun harus meneladani contoh tersebut, layaknya positivisme yang menolak cabang filsafat metafisika. Yang hanya menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.[15]  
                        Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat.[16] Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik ala Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.[17]
                        Pada darsarnya positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Sehingga maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Kesamaan positivisme dengan empirisme terletak dari keutamaan penggunaan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalaman batiniyah atau subjektif secara bersamaan sebagai sumber pengetahuan.[18] Sementara positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif (fakta-fakta) belaka[19].
                        Dalam perkembangannya, istilah positivisme berkembang menjadi subuah pemikiran tentang ilmu yang universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik, dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentunya menjadi ethika politik, dan agama yang positivistic, seiring dengan hal tersebut, positifisme berkembang menjadi tiga jenis, yaitu positivisme social, positivisme evolusioner, dan positivisme kritis. Positivisme social inilah yang sejak awal dikembangkan oleh Auguste Comte, sebagai Bapak Sosiologi.[20] Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi. Positivisme social yang merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. Auguste Comte adalah salah satu tokoh utama dalam positivisme social ini. [21]
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.


    D.            Pandangan Positivisme Auguste Comte terhadap Pemikiran Manusia
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak seseorang menjadi teolog, ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerna oleh hukum-hukum positifi.[22]
Uraian taha-tahap tersebut telah termaktub dalam bukunya Cours de philosophie positive (kursus tentang filsafat positif) yang di terbitkan sekitar tahun 1830-1842, dalam buku yang berjumlah 6 jilid itu, Auguste Comte mengungkapkan bahwa perkembangan pemikiran manusia berlansung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiyah atau positif, perkembangan yang demikian itu berlaku baik bagi perkembangan pemikiaran perorangan maupun bagi seluruh umat manusia.[23]
1.      Zaman Teologis
Pada zaman ini manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak tersebut. Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a.       Animisme. Tahap animisme ini merupakan tahapan yang paling primitive, karena benda-benda sendiri dianggap mempunyai jiwa.
b.      Politeisme, merupakan perkembangan dari tahap pertama, dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing menguasai suatu  lapangan tertentu.
c.       Monoteisme, tahapan ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada tahap ini manusia hanya memandang satu tuhan.[24] 
Dengan demikian tahapan ini roh manusia sering diarahkan kepada hakekat “bathiniyah” segala sesuatu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Sehingga orang akan berusaha memilikinya.[25]
2.      Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”.[26] Tahap perubahan dari zaman teologi ini juga penegertian-pengetian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriyah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam, dan yang dipandang sebagai asal segala penampkan atau gejala yang khusus.[27]
3.      Zaman Positif
Zaman ini menurut Comte adalah zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah karena pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta.  Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti sebenarnya.[28]  
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, hukum tiga zaman ini tidak saja berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku begi tiap individu manusia. Selain itu, tahapan-tahapan tersebut juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan sendiri. segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian toelogis, setelah itu kemudian dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di hukum-hukum positif yang cerah. 

     E.            Tawaran Positivisme dalam ilmu pengetahuan
Menurut Comte Pengaturan ilmu pengetahuan harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala yang dipelajari ilmu itu, pengelompokan ilmu-ilmu pengetahuan di urut berdasarkan tingkatan sifat tunggal atau oleh tingkatan sifat umumnya, gejala yang sifatnya umum adalah gejala yang paling sederhana, karena gejala inilah yang paling tidak memeiliiki kekhususuan hal-hal yang individual.[29]
Berikut ini adalah deretan ajaran-ajaran ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejalanya, Comte melihat dari dua aspek, yaitu :
1.      Anorganis
Dapat dibagi menjadi dua bagian  antara lain :
a.       Astronomi, mempelajari segala gejala umum jagat raya.
b.      Fisika serta Kimia, yang mempelajari gejala-gejala anorganis di muka bumi
2.      Organis.
Ajaran ini juga dapat dibagi menjadi dua bagian juga, yaitu :
a.       Biologi, mmenyelidii proses dalam individu
b.      Sosiologi, menyelidiki gejala-gejala dalam kemasyarkatan.[30]
Dalam kesempatan ini, Comte tidak memberi tempat bagi ilmu psikologi, hal ini disebabkan karena menurut dia, manusia tidak dapat meneliti dirinya sendiri. barangkali orang masih dapat meneliti nafsunya, karena nafsu tidak berada dalam fikiran.[31]
 Dalam segala bidang ilmu pengetahuaan, kecuali sosiologi, Comte dapat bersandar kepada kemajuan-kemajuan yang luaar biasa sejak dimulainya zaman positif. Sosiologi memang harus diciptakan. Itulah sebabnya segala uraiannya dipusatkan pada sosiologi.[32] Walau demikian sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu Comte beranggapan bahwa selaku “pencipta” sosiologi ia mengantar ilmu pengetahuan masuk ke taraf positifnya. Dengan demikian (merancang sosiologi) Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.[33]
Pada dasarnya Sosiologi merupakan ajaran yang  menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui :
1.      Kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial,
2.      Kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics).
Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem social, Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.[34]

     F.            Altruisme, Ajaran lanjutan Comte tentang tiga zaman.
Ajaran ini disebut dengan Altruisme. Ajaran lanjutan ini dapat diartikan sebagai menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat, bahkan bukan “salah satu masyarakat” , melainkan I’humanite, “suku bangsa manusia”, pada umumnya, jadi altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”.[35]  
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam bertindak. Sehubungan dengan hal ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini disebut Ie Grand Etre, “maha makhluk”. Untuk ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk Ie Grand Etre itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta returgi, dan lain-lain.[36] dogma satu-satunya adalah “cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan”.[37]

  1. Relevansinya terhadap ilmu pendidikan Islam
Bicara masalah relevansi, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu tujuan pendidikan Islam sebagai acuan relevan tidaknya suatu ilmu yang satu dengan yang lainnya, secara umum pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifaanya dimuka bumi.[38] Selain itu menurut Hasan Langgulung, juga mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, psikologi yang berkkaitan dengan tingkah laku, dan fungsi social yang berkaitan dengan aturan-aturan, sehingga tidaklah bebas dibuat sekehendaknya tapi harus berpijar pada nilai-nilai yang digali dalam Islam sendiri.[39]
Bagaimanapun pendidikan Islam pasti dapat memperoleh faedah, fungsi, tujuan yang diharapkan dan diidamkan, falsafah harus diambil dari berbagai sumber, sumber itu diperhatikan dalam dalam menciptakannya sebagai factor, dengan syarat sumbe-sumber itu harus dikaitkan dengan sumber islam.[40] Dengan demikian jika ajaran Positivistik menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Hadist rasul, maka hal tersebut belum relevan bagi kesempurnaan pendidikan Islam, terutma di negeri kita yang unik ini, yang masih penuh dengan mistikus dan ilmu kebathinan yang mendalam sebagai jalan menuju Allah Swt.
Dari sini ternyata Positivistik belum sepenuhnya relevan dengan pendidikan islam, Dalam kaitannya dengan ilmu pendidikan Islam, ajaran Positivisme Comte belum memenuhi dan tersangkut dalam asas-asas dan karakteristik falsafah metode pendidikan Islam, konsep asasi dalam pendidikan Islam telah mengidentifikasikan bahwa seluruh komponen yang terkait dalam proses pendidikan merupakan satu kesatuan yang membentuk satu system, sehingga asas umum yang akan lahir dalam pendidikan Islam adalah 1) asas agama, 2) asas biologis, 3) asas psikologi, dan 4) asas sosial.[41] Hal ini tentu sudah tidak sejalan dengan positivisiknya Comte, terutama pada poin ketiga, adanya psikologi dalam asas pendidikan islam tidak diakui oleh Comte dan tidak diberikan tempat dalam system Comte, hal ini disebabkan karena menurut dia, manusia tidak dapat meneliti dirinya sendiri. barangkali orang masih dapat meneliti nafsunya, karena nafsu tidak berada dalam fikiran.[42] Jadi Dari segi asas-asas yang mendasar dalam metode pendidikan islam, positivistic sudah tidak memenuhi system pemikiran Comte.
Keluar dari pembagian 3 zaman Comte, dan memfokuskan pada zaman positivistik saja, Menurut kami, Positivistik pada zamannya hanya dapat dimanfaatkan sebagai ilmu social-kemasyaraktan yang terjadi antara manusia dengan manusia yang lainnya (Habl min An-Nas) dan kurang menfokuskan hubungan vertikalnya (pada tuhan semesta Alam), dalam artian ini seolah Comte menganggap bahwa subyektifitas untuk mencari hikmah kesucian dalam diri individu manusia tidak dibutuhkan lagi. Apalagi Tuhan bersifat non-indrawi. Tentu hal ini sangat berbeda dengan ajaran Pendidikan Islam yang bersifat ilhiyyah, namun walau demikian Positivisme masih bisa memberi sedikit perannya dalam kajian-kajian hukum dalam Pendidikan Islam, ilmu fiqh contohnya, walau tidak seluruhnya, fiqh yang bersifat menghukumi dzohir atau non-indrawi (nahnu nahkumu fi Ad-Dzawahir) setidaknya bisa menjadi tolak ukur, karena Positifistik bisa dikatakan hanya mengambil hikmah dibalik reaksi/peristiwa secara obyekif, dan fiqih juga belum bisa menghukumi secara syara’ hal-hal yang non-indrawi. Karena hal tersebut bukan termasuk dalam kajiannya, kecuali ada pengkolaborasian dengan ilmu tasaawuf ataupu tauhid.         
Dalam prakteknya, Positivisme ternyata terealisasi dalam pendidikan di negeri kita, sebagai bentuk evaluasi operasional pendidikan dan sistemnya bahkan kurikulumnya, ide konstrutif yang kemudian muncul adalah bagaimnana agar siswa dapat produktif bukan sekedar konsumtif , itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan paling tidak berlandaskan positivisme.

  1. Kesimpulan dan Penutup
Comte sebagai bapak sosiologi, telah banyak berjasa dalam ilmu pengetahuan. Pemikirannya yang cemerlang telah melahirkan Positivistiknya dalam ranah ilmu penfetahuan, berdasarkan zaman perkembangan pemikiran manusia yang telah diklasifikasikannnya, positivismenya-pun makin berkembang, analisa dasar yang Comte pikirkan dalam positivisme adalah :
    1. Menginkari non-indrawi,
    2. Menolak metafisika,
    3. Fokus pada gejala-gejala fakta saja,
    4. Tidak perlu menanyakan hakikat dan penyebab, dan
    5. Comte hanya membatasi pemikirannya pada pengalaman obyektif saja.
Dari sini mungkin kita akan berfikir relevan ataukah tidak Positiviosme dalam pendidikan Islam? Ataukah cocok pada aspek-aspek yang lainnya, seperti politik, ekonommi, dan budaya?.
Demikianlah petualangan pemikiran kami yang serba minimalis, dan kiranya ide-ide dalam makalah ini dijadikan sarana kritik dan saran yang konstruktif, sehingga positivisme dapat dipahami dengan positif thingking pula.         









SUMBER BACAAN

Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah)
Bakhtiar Amsal, 2007, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, Jakarta,  Radja Garafindo Persada.
Hadiwijoyo Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius. 
Macherey Pierre, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, - Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut,1994.
Hammers Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, Gramedia.
Muhadjir Noeng, 2001, Filsafat Ilmu-positivisme, Postpositifisme, & Postmodernisme, Yogyakarta, Rakesarasin, cet I.
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany,1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Oxford Learner’s Pocket Dictionary.
Praja Juhaya S. 2003, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media.
Samsul Nizar, 2002, Filsafat pendidikan Islam-Pendekatan Historis, Teortis dan Praktis, Jakarta Selatan, Ciputat Pers, cet I.

http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/

http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 15/10/2010

http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme 

http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.
http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html





[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 87-88
[2] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 85
[3] Ibid, hlm. 86
[4] Ibid, hlm. 109-110
[5] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 133
[6]  http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 15/10/2010

[7] http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme 

[8]  Ibid.
[9] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
[10] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.
[11] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html
[12] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333
[13] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, hlm. 225 dan 227.
[14] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, Jakarta,  Radja Garafindo Persada, 2007, hlm. 114
[15] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 133
[16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, - Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut,1994. hlm. 14-5

[17] http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/

[18] Ibid, hlm 134
[19] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 110
[20]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu-positivisme, Postpositifisme, & Postmodernisme, Yogyakarta, Rakesarasin, cet I,2001, hlm. 69
[21] Ibid. hlm. 70
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, hlm. 115
[23] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 110
[24] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 134
[25] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 110
[26] Juhaya S. Praja, hlm. 135
[27] Harun hadiwijoyo, hlm. 111
[28] Juhaya S. Praja, hlm. 135
[29] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 112
[30] Ibid, hlm. 112
[31] Ibid, hlm. 112
[32] Ibid, hlm. 113
[33] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 136
[35] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, hlm. 136
[36] Ibid, hlm 137
[37] Harry Hammers, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, Gramedia, 1983, hlm. 57
[38] Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 54
[39] Ibid. hlm. 46
[40] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 38
[41] Samsul Nizar, Filsafat pendidikan Islam-Pendekatan Historis, Teortis dan Praktis, Jakarta Selatan, Ciputat Pers, cet I, 2002, hlm. 68
[42] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 112