Kamis, 25 November 2010

PUISI ISI HATI


Saatnya Membatik Kain Hati
Oleh : M. Alfithrah Arufa

Warna-warni alunan nada gemuruh menyuruh-nyuruh
Dari arah ujung corong-corong mulut gunung yang bingung
Angin meriuh, gelombang menari-nari sambil bernyanyi
Dari tepi bibir-bibir pantai yang memercik tapi mencekik

Masih terdengar gemuruh perut bumi yang merintih pedih
Menggeliat dalam tangisnya dan berdendang lalu menendang
Masih terasa tangisan langit yang sedih dengan amarah panas
Menjerit ketakutan sambil menunduk di kolongnya yang hampa

Ingat…Ini bukan jabang bayi yang nyenyak dalam rahim suci
bukan pula si malam senyam yang bersembunyi saat siang bertahta
dengarkan aspirasi alam yang mulai congkak sebab kita congkak
Adakah wakil-wakil alam yang belum sempat memundurkan diri ?

Ingat… Bangsa dan negara ini adalah anugerah Sang Pencipta
Tanah subur, Air juga udara ini menjadi tubuh dan darah bangsa
Dulu memancar cerah dari sumber ruh cahaya timur yang fithrah
Kini menjelma surut dan terbenam padam menuju syaraf-syaraf barat

 Lalu dimana kiblat hatimu, saat gendang telingamu beku ?
Tersumbat rapat tak mau tahu dan menjauh pada rintihan bumi
Dimana sudut hatimu, kala retinamu pipih dan mengatup redup ?
Gelap membuta tak mau tahu dan mengintip pada tangisan langit

Seonggok tiang lurus di tengah lapangan mulai rapuh berayap
Mengibarkan sehelai kain kusam yang sedikit pudar meluntur
Putihmu berdarah diterpa udara yang marah sebab amarah bukan derma
Merahmu tak menyengat lagi, kau takut dan malu pada leluhurmu

Tanah air adalah hati negeri ini
Masih kering terontah dan kadang tandus
Merah putih adalah sanubari bangsa ini
Masih terombang-ambing membisu dihantam badai 

Dimana analisa tajammu, bagaimana persepsi hatimu?
Haruskah kita meyulam kain baru demi hati yang baru?
Di mana nurani aslimu, bagaimana inti jati dirimu ?
Haruskah kita merajut lagi dengan benang yang kusut?

Biarkan rasa dan karsa yang terwarisi berkibar kembali
Biarkan helaian kaku ini bermoral tanpa nada dan noda
Walalu memuai budaya bukan hanya ilusi telinga dan mata
Tapi saatnya membatik kain hati dan agama kita kembali.

###

Kamis, 04 November 2010

TEKSTUALITAS HADIS DAN PEMAHAMANNYA
(Tela’ah Metodologis Penelitian Ma’an Al-Hadis/Syarh)

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A. Pendahuluan
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan-kemungkinan verifikasi ulang bahkan hingga kritik terhadap sejarahpun dapat terjadi.
Makalah ini tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Apalagi hanya untuk mengkritisi otentitasnya dalam proses periwayatannya begitupun terhadap konteks dirayahnya. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu yang terpenting sebagai sumber konsultasi umat.
Dalam ranah kajian hadis yang lebih spesifik, memang harus kita akui bahwa para pengkaji hadis terlalu kepayahan dalam mengupas aspek sanad yang merupakan aspek periwayatan hadis. Oleh karena itu perlu kita mengetahui bersama bahwa ada hal yang lebih inti dari kajian kita. Memahami Syarah hadis yang menjadi acuan dalam pemahaman hadis juga tidak kalah pentingnya dari kritik matan dan sanad hadis yang berotasi pada keabsahan atau tidaknya hadis saja, namun setelah kajian tersebut, jauh lebih dalam pemahaman akan sesuatu yang kita cari dalam hadis nabi adalah memahami inti dan makna serta kandungan hadis agar dapat teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana memahami teks hadis Nabi?, memang merupakan yang urgen untuk dikedepankan. Persoalan ini berangkat dari realitas hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Mmemahami teks hadis tentu berbeda dengan memmahami teks Al-Qur’an yang periwayatannya secara mutawattir, qath’iy al-wurud, selai itu juga keotentikannya di jaga oleh Allah Swt. Sementara hadis nabi tidaklah demikian.

B. Pemahaman (Pensyarahan) Hadis
Para ulama telah banyak mencoba melakukan pemahaman terhadap hadis yang terdapat dalam Al-kutub Al-sittah yakni dengan menulis kitab-kitab syarah terhadap Al-kutub Al-sittah tersebut. Pensyarahan terhadap hadis yang terdapat dalam kitab shohiih Bukhori, misalnya telah muncul 82 kitab syarah yang ditulis oleh beberapa ulama seperti ibn Hajar Al-Asqalani yang menulis kitab Fathul Bari’ syarah Shahil Al-Bukhori, Syamsuddin Muhammad Bin Yusuf bin Ali al-kirmani yang menulis Al-Kawakib Ad-Dirari Fi Syarah Shohih Bukhori , dan lan-lan. Begitupun dengan pensyarahan shohih muslim.
Meskipun kitab-kitab syarah tersebut banyak disusun, tetapi upaya untuk menemukan metode yang digunakan oleh ulama dalam penyusunan kitab syarah hadis tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Dalam ilmu Al-Qur’an kita akan menemukan istilah tafsir Al-Qur’an, dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsirnya dalam usaha memahami Al-Qur’an. Maka dalam studi hadis yang secara substansial sama-sama bergerak dalam wilayah penafsiran/pemahaman, sudah tentu akan dapat ditemukan upaya-upaya yang serupa dalam pemahaman Al-Qur’an, karena pada hakikatnya keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan), tetapi hakikat istilahnya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan dalam pemahaman Hadis lebih dikenal dengan istilah Syarah meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.

C. Fenomena Syarah, Tafsir, dan Ta’wil Sebagai Upaya Pemahaman.
Dengan munculnya istilah marfu’, mauquf dan maqthu’ sebagai bagian dari hadis Nabi, hal itu menjadikan kawasan definitif hadis semakin luas. Kondisi ini menyebabkan pentingnya mengupas perbedaan antara Syarah, Tafsir dan Ta’wil sebelum lebih jauh mengkaji metodologi pemahaman hadis. Istilah Syarah adalah digunakan untuk hadis Tafsir dan Ta’wil digunakan untuk Al-Qur’an, dalam memahami Al-Qur’an terjadi kontradiksi pemaknaan antara Tafsir dan Ta’wil, sekilas pengertiannya sama, namun sebagian ulama memandang lain, terutama ulama khalaf. Ada yang memandang, Tafsir mengarah pada penjelasan lafadz dan kosa katanya sedangkan Ta’wil mengarah pada susunan kalimat dan maknanya, adapula yang berpendapat bahwa Tafsir merupakan penjelasan yang berasal dari pemahan pikiran, sedangkan ta’wil adalah esensi sesuatu yag berada dalam realita, bahakan lebih dari itu adapula yang menganggap Ta’wil sebagai kajian hermeneutik terhadap pemaknaan Al-Qur’an.
Lantas kemudian timbul pertanyaan, Kenapa untuk memahami hadis digunakan istilah Syarah, kenapa bukan Tafsir atau Ta’wil? Kemudian, kenapa tidak digunakan istilah yang sama dalam menjelaskan Al-Qur’an dan Hadis? Apa sebenarnya perbedaan masing-masing diantara ketiga istilah tersebut?.
Secara historis, perkembangan pemahaman mengenai Al-Qur’an yang kemudian mewujud dalam kitab-kitab Tafsir, berkembang demikian pesat. Beribu-ribu kitab tafsir dengan berbagai coraknya, sejak abad pertama hijriyah telah bermunculan, untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya berkisar 6000 ayat. Sedangkan dalam bidang hadis, perkembanngan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya mencapai ratusan ribu dan termuat dalam sekian banyak kitab hadis yang tersusun dalam berbagai model penyusunan.
Munculnya banyak kitab tafsir serta model penafsirannya merupakan indikasi bahwa Al-Qur’an itu terbuka untuk berbagai penafsiran dan tafsir merupakan hasil kontruksi akal manusia, disamping menunjukan tidak adanya kekhawatiran bahwa aktifitas mereka akan mengurangi kemurnian Al-Qur’an. Berbeda dengan Hadis, kebanyakan ulama mendahulukan sikap reserve untuk menela’ah ulang dan mengembangkan pemikiran pemahaman hadis secara bebas, karena khwatir dianggap inkar as-sunnah. Sementara studi kritis terhadap Al-Qur’an, setingkat apapun, tidak pernah mengenal istilah inkar AL-Qur’an. Padahal, tema pemikiran terhadap hadis sangat mendesak untuk dikembangkan guna untuk mendinamisasikan pemikiran keagamaan secara lebih luas dan merealisasikan hadis sebagai sumber acuan.
Perbedaan pertama yang mencuat dalam kaitannya dengan upaya menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an dan Hadis adalah, bahwasanya penafsisan Al-Qur’an berpijak dari keyakinan haqq al-yaqin bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya merupakan firman allah yang terjamin keotentikannya. Sehingga dalam upaya menjelaskan makna ataupun kandungan Al-Qur’an akan menonjol sifat interpretasi. Sedangkan untuk memahami hadis secara mendalam makna dan maksudnya bahkan kandungannya, kita harus terlebih dahulu mengorek otentisitas hadis tersebut. An-naqd (kritik) harus dilakukan, karena dalam sejarahnya hadis memang tertulis sejak masa nabi, tetapi baru terkodifikasi beberapa abad sesudahnya.
Dengan demikian, memfilter terlebih dahulu hadis-hadis yang akan dikupas maknannya merupakan suatu keharusan dan aktivitas ini tentu saja cukup menguras banyak pikiran sehingga pada akhirnya nanti, upaya penjelasan dan pemahaman hadis Nabi bukan merupakan kiprah interpretasi.



D. Metodologi Pemahaman Hadis
Berdasarkan uraian sebelumnya (mengenai pemahaman hadis) sangat jelas kalau para ulama dahulu dalam menyusun kitab syarah menjadi sebuah keniscayaan. Hal tersebut dilakukan dengan memperoleh kerangka umum bangunan metodologis dalam pemahaman hadis. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karyanya dalam bidang syarah al-hadis . jika karya-karya tersebut dicermati maka dapat diklasifikasikan beberapa metodologi yang dipergunakan oelh para pensyarah. Metode syarah tersebut adalah metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin.
1. Metode Tahlili
a. Pengertian
Metode Syarah tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah.
Dalam menyajikan penjellasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadisyang dikenal dari Kutub As-Sittah. Pensyarahan hadis dimulai memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut baik berasal dari sahabat, para tabi’in, maupun para ulama hadis.
b. Ciri-ciri metode tahlili adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk ma’tsu (riwayat) atau ra’y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma’tsur, ditandai dengan banyaknya dominasiriwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama hadis dalam penjelasanterhadap hadis yang disyarahi. Sedangkan ra’y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
b. Pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola komperhensif dan menyeluruh.
c. Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) dari hadis yang dipahami jika hadis yang disyarahi tersebut memiliki wurudnya.
d. Terdapat penjelasan munasabah (hubungan antara satu hadis dengan hadis lainnya).
e. Kadang diwarnai oleh kecendrungan dan keberpihakan pensyarah kepada salah satu madzhab tertentu.
c. Berikut ini diantara kitab-kitab syarah yang menggunkan metode tahlili :
1) Fath al-Bari’ bi Syarh shahih al-Bukhari karya Ibn Hajar Al-Asqalani.
2) Irsyad al-Sari al Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibn Al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani.
3) Al-Kawakib al-Darari fi Syarh Shahi al-Bukhari karya Syamsul al-Din Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani.
4) Syarh al-Zarqani Muwatta’ al-Imam Malik karya Muhammad bin Abd al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani, dan lain-lain.
d. Kekurangan dan kelebihan
Kelebihan yang dimiliki oleh metode Syarh tahlili antara lain :
1) Ruang lingkup pembahasan sangat luas.
2) Memuat berbagai ide dan gagasan.
Kekurangan metode ini adalah :
1) Menjadi petunjuk hadis parsial.
2) Melahirkan Syarar yang subyektif.



2. Metode Ijmali
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kuub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literah hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.
Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarahan, metode ini tidak berbeda dengan metode tahlili yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis. Selain itu gaya bahasa digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak tahu benar redaksi matan hadis yang disyarahnya, kadang kala tidak dapat memilahkan mana yang hadis dan mana yang syarahnya.
b. Ciri-ciri metode ijmali adalah sebagai berikut :
1) Pensyarah melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2) Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebayak-banyaknya.
3) Penjelasannya umum dan sangat ringkas, sehingga tidak seluas metode tahlili.
c. Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmali antara lain ;
1) Syarh as-Suyuti li Sunan al-Nasa’i karya Jalal al-Suyuti.
2) Qut al-Mughtazi ’Ala jami’ al-Turmudzi karya Jalal al-Din al-Syuti.
3) ’Aun al-Ma’bud Syarh SunanAbi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi, dan lain-lain.
d. Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan yang dimiliki oleh metode ijmali adalah :
1) Rinkas dan padat
2) Bahasa Mudah
Kekurangan pada metode ini adalah :
1) Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial.
2) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
3. Metode Muqarin
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode muqarin adalah metode memahami hadis dengan cara : (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunkan metode muqarin ini mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.
b. Ciri-ciri metode muqarin adlah sebagai berikut :
1) Perbandingannya tidak terbatas pada perbandingan analisis redaksional (mabahis lafdziyyah) saja, melainkan perbandinggan penilaian periwayat, kandungan makna dari masing-maing hadiis yang diperbandingkan.
2) Pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut.
3) Pembahasan yang menjadi obyek perbandingan adalah berbagai pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah pensyarah dalam suatu hadis, kemudian melakukan perbandingan diantara berbagai pendapat yang dikemukakan itu.
4) Analisis sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang kemiripan dari hadis-hadis atau antara hadis yang tampak kontradiktif.
5) Penjelasan syarah dimulai dengan menjelaskan pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.
c. Kitab-kitab yang menggunakan metode muqarin adalah :
1) Shahih Muslim bi Syarh Nawawi karya Imam Nawawi.
2) Umdah al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari ¬karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, dan lain-lain.
d. Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan menggunakan metode ini adalah :
1) Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lain.
2) Membuka pintu untuk selalu bersikaptoleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda.
3) Pemahaman dengan metode ini sangat berguna bagi meraka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-pendapat para pensyarah yang lainnya.
Kekurangan dalam metode muqarin ini adalah :
1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit baginya untuk menentukan pilihan.
2) Metode ini tidak dapat diandalkan utnuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang ditengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3) Metode ini terkesan llebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.

E. Pendekatan Dalam Melengkapi Pemahaman Teks Hadis
Hadis Nabi yang telah mengalami pensyarahan yang mendalam dengan kuantitas yang tidak seditit, tentu hadis-hadis Nabi memiliki motif dan bentuk matan yang berbeda-beda, yakni seperti matan yang berbentuk jami’ al-kalim (ungkapan yang singkat namun penjang maknanya), tamsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), qiyas (ungkapan analogi), dan lain-lain. Dari banyaknya bentuk penyampaian hadis nabi ini, menurut kami diperlukan pendekatan urgensitatif terhadap pemahaman hadis tersebut, terutama kajian tekstual sebagai awal pemahaman substansial yang lebih universal sebbelum kontekstual.
Ada beberapa pendekatan yang bisa membantu dalam upaya pemahaman tekstualitas hadis, diantara tawaran pendekatan dari para ulama klasik karena kepedulian meraka pada umat Islam adalah : (1) Ilmu Gharib al-Hadis, (2) Talfiq al-Hadis, (3) Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, (4) Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, (5) Ilmu I’lal al-Hadis, dan sebagainya.

1) Ilmu gharib al-Hadis, adalah :
علم يعرف به معنى ما وقع فى متون لأحاديث من الألفاظ العربية عن أذهاب الذين بعد عهدهم باالعربية الخالصة
” Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”

2) Talfiq al-Hadis, adalah :
علم يبحث فيه التوقيف بين الأحاديث المتنافضة ظاهرا
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya”.

3) Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, adalah ;
علم يعرف به السبب الذى ورد لأجله الحديث و الزمان الذي جاء فيه
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Saw menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi Saw menuturkan”.

4) Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, adalah :
علم يبحث فيه عن الناسخ و المنسوخ من الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan menasikhkkannya”.

5) Ilmu I’lal al-Hadis, adalah :
علم يبحث فيه عن أسباب غامضة حفية فادحة صحة الحديث
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan Hadis”.

F. Hermeneutik Sebagai Alternatif Solusi
Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan. Hermeneutik kemudian diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Problematika Hermeneutik pada dasarnya problematika yang berkait dengan bahasa, karena untuk berpikir, menulis, berbicara, mengerti bahkan interpretasi, semua menggunakan bahasa. Tugas Hermeneutik yang paling utama memang untuk memahami teks. Menurut Gadamer, suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menyelam di balik bahasa yang digunakan.
Pemahaman memang memasukkan unsur subyektif, sehingga jarang sampai pada dataran obyektif. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis diluar kerangka ruang dan waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam menginterpretasi seseorang harus dituntut untuk membuang jauh-jauh segala bentuk pra-konsepsi, dan sebaliknya dalam menginterpretasi harus sesuai dengan apa yang dimiliki (vorhabe), apa yang dilihaat (vorsicht) dan apa yang diperoleh kemudian (vorguff).
Dalam memahami teks yang hadir di hadapan kita, setidaknya tiga variabel utama yang saling berkaitan yang harus kita ketahui. Antara lain : teks, pengarang, dan pembaca. Ketiganya dihubungkan oleh alat bantu, yaitu bahasa. Tentu tanpa medium itu tidak akan ada pemahaman yang komperhensif. Dari sinilah kemudian terlintas kata Bahasa Arab yang bagi kalangan umat Islam merupaka bahasa yang memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi. Oleh karenanya untuk memahami suatu Hadis yang hadir dalam bahasa Arab (balaghah, dan manthiq) merupakan satu persyaratan untuk sampai pada taraf pemahaman yang komperhensif.
Sebenarnya penggunaan Hermeneutik sudah melampaui pada taraf pemahaman Teks Hadis, karena akan lebih mendalam pemaknaannya dan luas jangkauan pemahamannya, sebab selain telah mencakup grametika bahasa, juga pada tingkat falsafi bahkan menyentuh kontekstual historis, sehingga Hadis yang menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an, dapat benar-benar menjadi pegangan umat Islam.

G. Kesimpulan
Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa perkembangan syarah hadis dan metodologinya kalah jauh dibandingkan perkembangan tafsir Al-Qur’an dan metodologinya. Terhadap Al-Qur’an, dengan mudah akan bisa ditemukan berbagai kitab tafsir dari berbagai macam corak, aliran, pendekatan dan metode penafsiran. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan syarah hadis.
Berangkat dari kesadaran atas perkembangan syarah hadis tersebut, berbagai tawaran metodologi untuk memahami hadis banyak dikemukakan oleh pemerhati hadis. Metodologi yang ditawarkan tersebut di antaranya adalah metode tekstualitas hadis dan metode hermeunetik. Salah satu kelemahan metode-metode yang ditawarkan tersebut antara lain disebabkan karena mencangkok metode dari luar ilmu hadis, sehingga mengakibatkan susah dioperasionalisasikan dalam ilmu hadis dan miskin contoh penerapannya.
Pemahamannya adalah pertama, mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an, kedua, dengan hadis-hadis setema, ketiga pendapat ulama', dan keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan. Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyya (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks) kerana pada hakikatnya dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Implikasi dari metode pamahaman dalam pemahaman hadis Nabi, di antaranya, pertama, pemahaman teks hadis harus berasal dari teks, kedua, pentingnya pendekatan secara majazi dan bentuk matan yang ada serta bagaimana sikap terhadap hadis-hadis yang sulit difahami, tanpa terkecuali hadis metafisik dan sifat-sifat Tuhan, ketiga, riwayat bi al-ma'na tidak dapat dikesampingkan dalam pemahaman teks hadis.
Begitulah segala fenomena yang berkaitan dengan puas atau ketidakpuasan logika dan rasionalisasi pemikiran manusia, tidak ada metode yang terbaik karena yang terbaik adalah metode untuk tidak putus asa dalam memahami inti dari sebuah Hadis Nabi sebagai sumber ajaran kedua setelah Firman-Firman Allah yang maha sastra. Esensi dari pemahaman adalah reaksinya dalam kehidupan sehari-hari, lantas bagaimana kita mengikuti sunnah rasul jika pemahaman belum tuntas, dan bagaimana kita bisa menuntaskannya jika tak bisa memahami metode pemahaman yang tepat terhadap hadis Nabi.

~ Wallahu A’lam…~.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Amin, 1996, Studi Agama : Normativitas, Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ad-Din As Suyuthi Jalal, 911 H ,Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, jilid 2
Al-Farmawi Abu Al-Hay, 1977, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.
Ali Nizar, 2001, Memahami Hadis Nabi (Metode & Pendekatan), Yogyakarta : CESaD YPI-Al-Rahman
Hidayat Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta : Paramidana
Palmer Richard E., 1969, Hermeneutics, Evanston : Northwestern Univ. Press.
Rahman Fazrul dkk, 2002, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Sumaryono E., 1993, Hermeneutik : sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius.
Sutari Endang, 1997, Ilmu Hadis, Bandung : Amal Bakti Press, cet II.
Syahudi, 1994, Hadis Nabi yang Tekstual & Kontekstual (Tela’ah Ma’ani al-Hadist ttentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal ), Jakarta : Bulan Bintang.
Zuhri Muh, 2003, Tela’ah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis), Yogyakarta : LEFSI.

Selasa, 02 November 2010

POSITIVISME AUGUSTE COMTE

POSITIVISME AUGUSTE COMTE
(Kajian Epistemologi dan Relevansinya Bagi Ilmu Pendidikan Islam)
Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

  1. Pendahuluan
Makalah ini akan jadi lebih nikmat bila kita bangun tidur lalu berhasil menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini ; apakah sumber-sumber pengetahuan itu?, apakah watak dari pengetahuan itu?, dan apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?, persoalan yang mendasar inilah mungkin yang akan menjadi acuan pendobrak idealisme kita sebagai Agen of Change (dalam hal ini sebagai mahasiswa yang dalam proses pengembangan sumber dayanya) dalam bidangnya masing-masing. Alur cuaca yang memaksa kita untuk mengetahui dan banyak bertanya atas dasar  ketidaktahuan ataupun atas pengetahuan yang ada, dengan demikian kemungkinan inisiatif yang akan lahir dengan tanda tanya yang lebih besar, dan semakin membesar adalah  dari mana pengetahuan itu benar datang, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya, ini semua adalah problema asal (origin), lalu datang lagi tanda Tanya yang agak besar dari sebelumnya, adakah dunia yang riil diluar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahuainya? ini semua adalah problema penampilan (appearance) terhadap relita, sementara itu hal yang tidak kalah pentingnya, bahkan tidak kalah besar tanda tanyanya adalah sebuah problematika kebenaran (verification) yang memuntahkan nalar yang lebih tajam sehingga kita harus membingungkan diri dalam membedakan antara kebenaran dan kekeliruan terhadap pengetahuan kita (viliditas jadi barometernya).
Pada dasararnya hal-hal tersebut di atas merupakan analisa pengembangan dari ilmu filsafat yang disebut dengan epistemology[1], secara fokus aplikatifnya, bagian ini hanya berotasi di poros kebenaran dan kekeliruan, tentu hal ini membuat kita akan terus mencari dan tidak akan puas dengan apa yang kita peroleh dan dengan apa yang telah dihidangkan oleh pendapat-pendapat para pemikir (philofsof) yang lengkap dengan sangkahan-sangkahannya itu, atau kita hentikan kemampuan kita yang hanya cukup dalam batasan indra saja, atau sebaliknya, jauh lebih mendalam dari sekedar indra, bahkan nurani?. Menurut kami mengkaji filsafat dari segi epistemologinya sama saja membongkar “isi otak” para philosof, dan “membedah” sejarah yang serba ruwet dari zaman ke zaman, begitu banyak gejolak yang terjadi, sehingga seolah-olah fenomena browsing kebenaran semakin menjadi santapan dari bangun tidur hingga mereka tidur kembali.
Pada abad ke-19, merupakan abad yang ruwet dibanding dengan abad-abad yang sebelumnya. Mulai abad ini filsafat terpecah belah menjadi filsafat Jerman, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Amerika dan filsafat Rusia. Sifat keegoisan pemikiran pun mulai tumpang tindih pada saat itu, masing-masing membentuk kepribadiannya sendiri-sendiri denga cara dan pengertian dasar sendiri-sendiri.[2] selain luasnya daerah filsafat salah satu faktor lain ruwetnya abad ini adalah produksi yang dihasilkan mesin-mesin sangat mengubah masyarakat dan memberikan kepada manusia suatu konsepsi baru tentang kuasa dalam hubungannya dengan alam sekitar.[3]
Pada abad inilah dasar-dasar pemikiran positivistik mulai cair, yaitu analisa dari fakta-fakta dan penampkan serta gejala yang timbul setelah adanya reaksi dan nantinya dapat menjadi efek bagi kehidupan selanjutnya, melihat kebutuhhan masa depan dengan identifikasi syarat-syarat fakta yang muncul dan memungkinkan untuk dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya.[4] Sekilas pemikiran yang dicetuskan oleh August Comte ini serupa dengan empirisme seperti yang timbul di inggris, bahwa keduanya mengutamakan pengalaman, lantas anda tentu akan berfilsafat sendiri dan bertanya dimana titik perbedaannya?, jawabannya akan kami terangkan kemudian. Sangat menakjubkan jika kita menyelami otak bapak Sosiologi ini, bagaimana tidak?, beliau akan menyebrangkan kita ke dalam 3 alam dan 3 zaman pemikiran, entah itu bagi pemikiran perorangan maupun pemikiran seluruh umat. Lantas apakah cukup sampai di dermaga positivestik saja petualagan kita, bagaimana dengan ilmu yang bisa kita tawarkan bagi pendidikan negeri kita yang unik ini?
  1. Kehidupan Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1857)
 
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Prancis bagian selatan pada 17 Januari 1798. ia berasal dari keluarga yang beragama katolik[5] setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[6] Masa pendidikannya di Ecole Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[7] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[8]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[9]
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri.
Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Peristiwa ini berawal dari kisah percintaannya dengan seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit mental, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Cours. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42. Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.
Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-54.[10] jauh sebelum hal tersebut, Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari "agama kemanusiaan" (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Systeme de politique positive itu (1851 - 1854). Dalam perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.[11]

    C.            Mengenal Teori Positivisme dan kritiknya dalam pengetahuan.
Positivisme berasal dari kata “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[12] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[13] Hal ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora.
Dari deskripsi makna positivisme tersebut, dapat di analisakan bahwa Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu dalam bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala tersebut, setelah hokum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.[14] 
Menurut teori positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan, maka filsafat pun harus meneladani contoh tersebut, layaknya positivisme yang menolak cabang filsafat metafisika. Yang hanya menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.[15]  
                        Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat.[16] Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik ala Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.[17]
                        Pada darsarnya positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Sehingga maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Kesamaan positivisme dengan empirisme terletak dari keutamaan penggunaan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalaman batiniyah atau subjektif secara bersamaan sebagai sumber pengetahuan.[18] Sementara positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif (fakta-fakta) belaka[19].
                        Dalam perkembangannya, istilah positivisme berkembang menjadi subuah pemikiran tentang ilmu yang universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik, dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentunya menjadi ethika politik, dan agama yang positivistic, seiring dengan hal tersebut, positifisme berkembang menjadi tiga jenis, yaitu positivisme social, positivisme evolusioner, dan positivisme kritis. Positivisme social inilah yang sejak awal dikembangkan oleh Auguste Comte, sebagai Bapak Sosiologi.[20] Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi. Positivisme social yang merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. Auguste Comte adalah salah satu tokoh utama dalam positivisme social ini. [21]
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.


    D.            Pandangan Positivisme Auguste Comte terhadap Pemikiran Manusia
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak seseorang menjadi teolog, ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerna oleh hukum-hukum positifi.[22]
Uraian taha-tahap tersebut telah termaktub dalam bukunya Cours de philosophie positive (kursus tentang filsafat positif) yang di terbitkan sekitar tahun 1830-1842, dalam buku yang berjumlah 6 jilid itu, Auguste Comte mengungkapkan bahwa perkembangan pemikiran manusia berlansung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiyah atau positif, perkembangan yang demikian itu berlaku baik bagi perkembangan pemikiaran perorangan maupun bagi seluruh umat manusia.[23]
1.      Zaman Teologis
Pada zaman ini manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak tersebut. Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a.       Animisme. Tahap animisme ini merupakan tahapan yang paling primitive, karena benda-benda sendiri dianggap mempunyai jiwa.
b.      Politeisme, merupakan perkembangan dari tahap pertama, dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing menguasai suatu  lapangan tertentu.
c.       Monoteisme, tahapan ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada tahap ini manusia hanya memandang satu tuhan.[24] 
Dengan demikian tahapan ini roh manusia sering diarahkan kepada hakekat “bathiniyah” segala sesuatu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Sehingga orang akan berusaha memilikinya.[25]
2.      Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”.[26] Tahap perubahan dari zaman teologi ini juga penegertian-pengetian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriyah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam, dan yang dipandang sebagai asal segala penampkan atau gejala yang khusus.[27]
3.      Zaman Positif
Zaman ini menurut Comte adalah zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah karena pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta.  Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti sebenarnya.[28]  
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, hukum tiga zaman ini tidak saja berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku begi tiap individu manusia. Selain itu, tahapan-tahapan tersebut juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan sendiri. segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian toelogis, setelah itu kemudian dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di hukum-hukum positif yang cerah. 

     E.            Tawaran Positivisme dalam ilmu pengetahuan
Menurut Comte Pengaturan ilmu pengetahuan harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala yang dipelajari ilmu itu, pengelompokan ilmu-ilmu pengetahuan di urut berdasarkan tingkatan sifat tunggal atau oleh tingkatan sifat umumnya, gejala yang sifatnya umum adalah gejala yang paling sederhana, karena gejala inilah yang paling tidak memeiliiki kekhususuan hal-hal yang individual.[29]
Berikut ini adalah deretan ajaran-ajaran ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejalanya, Comte melihat dari dua aspek, yaitu :
1.      Anorganis
Dapat dibagi menjadi dua bagian  antara lain :
a.       Astronomi, mempelajari segala gejala umum jagat raya.
b.      Fisika serta Kimia, yang mempelajari gejala-gejala anorganis di muka bumi
2.      Organis.
Ajaran ini juga dapat dibagi menjadi dua bagian juga, yaitu :
a.       Biologi, mmenyelidii proses dalam individu
b.      Sosiologi, menyelidiki gejala-gejala dalam kemasyarkatan.[30]
Dalam kesempatan ini, Comte tidak memberi tempat bagi ilmu psikologi, hal ini disebabkan karena menurut dia, manusia tidak dapat meneliti dirinya sendiri. barangkali orang masih dapat meneliti nafsunya, karena nafsu tidak berada dalam fikiran.[31]
 Dalam segala bidang ilmu pengetahuaan, kecuali sosiologi, Comte dapat bersandar kepada kemajuan-kemajuan yang luaar biasa sejak dimulainya zaman positif. Sosiologi memang harus diciptakan. Itulah sebabnya segala uraiannya dipusatkan pada sosiologi.[32] Walau demikian sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu Comte beranggapan bahwa selaku “pencipta” sosiologi ia mengantar ilmu pengetahuan masuk ke taraf positifnya. Dengan demikian (merancang sosiologi) Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.[33]
Pada dasarnya Sosiologi merupakan ajaran yang  menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui :
1.      Kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial,
2.      Kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics).
Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem social, Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.[34]

     F.            Altruisme, Ajaran lanjutan Comte tentang tiga zaman.
Ajaran ini disebut dengan Altruisme. Ajaran lanjutan ini dapat diartikan sebagai menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat, bahkan bukan “salah satu masyarakat” , melainkan I’humanite, “suku bangsa manusia”, pada umumnya, jadi altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”.[35]  
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam bertindak. Sehubungan dengan hal ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini disebut Ie Grand Etre, “maha makhluk”. Untuk ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk Ie Grand Etre itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta returgi, dan lain-lain.[36] dogma satu-satunya adalah “cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan”.[37]

  1. Relevansinya terhadap ilmu pendidikan Islam
Bicara masalah relevansi, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu tujuan pendidikan Islam sebagai acuan relevan tidaknya suatu ilmu yang satu dengan yang lainnya, secara umum pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifaanya dimuka bumi.[38] Selain itu menurut Hasan Langgulung, juga mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, psikologi yang berkkaitan dengan tingkah laku, dan fungsi social yang berkaitan dengan aturan-aturan, sehingga tidaklah bebas dibuat sekehendaknya tapi harus berpijar pada nilai-nilai yang digali dalam Islam sendiri.[39]
Bagaimanapun pendidikan Islam pasti dapat memperoleh faedah, fungsi, tujuan yang diharapkan dan diidamkan, falsafah harus diambil dari berbagai sumber, sumber itu diperhatikan dalam dalam menciptakannya sebagai factor, dengan syarat sumbe-sumber itu harus dikaitkan dengan sumber islam.[40] Dengan demikian jika ajaran Positivistik menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Hadist rasul, maka hal tersebut belum relevan bagi kesempurnaan pendidikan Islam, terutma di negeri kita yang unik ini, yang masih penuh dengan mistikus dan ilmu kebathinan yang mendalam sebagai jalan menuju Allah Swt.
Dari sini ternyata Positivistik belum sepenuhnya relevan dengan pendidikan islam, Dalam kaitannya dengan ilmu pendidikan Islam, ajaran Positivisme Comte belum memenuhi dan tersangkut dalam asas-asas dan karakteristik falsafah metode pendidikan Islam, konsep asasi dalam pendidikan Islam telah mengidentifikasikan bahwa seluruh komponen yang terkait dalam proses pendidikan merupakan satu kesatuan yang membentuk satu system, sehingga asas umum yang akan lahir dalam pendidikan Islam adalah 1) asas agama, 2) asas biologis, 3) asas psikologi, dan 4) asas sosial.[41] Hal ini tentu sudah tidak sejalan dengan positivisiknya Comte, terutama pada poin ketiga, adanya psikologi dalam asas pendidikan islam tidak diakui oleh Comte dan tidak diberikan tempat dalam system Comte, hal ini disebabkan karena menurut dia, manusia tidak dapat meneliti dirinya sendiri. barangkali orang masih dapat meneliti nafsunya, karena nafsu tidak berada dalam fikiran.[42] Jadi Dari segi asas-asas yang mendasar dalam metode pendidikan islam, positivistic sudah tidak memenuhi system pemikiran Comte.
Keluar dari pembagian 3 zaman Comte, dan memfokuskan pada zaman positivistik saja, Menurut kami, Positivistik pada zamannya hanya dapat dimanfaatkan sebagai ilmu social-kemasyaraktan yang terjadi antara manusia dengan manusia yang lainnya (Habl min An-Nas) dan kurang menfokuskan hubungan vertikalnya (pada tuhan semesta Alam), dalam artian ini seolah Comte menganggap bahwa subyektifitas untuk mencari hikmah kesucian dalam diri individu manusia tidak dibutuhkan lagi. Apalagi Tuhan bersifat non-indrawi. Tentu hal ini sangat berbeda dengan ajaran Pendidikan Islam yang bersifat ilhiyyah, namun walau demikian Positivisme masih bisa memberi sedikit perannya dalam kajian-kajian hukum dalam Pendidikan Islam, ilmu fiqh contohnya, walau tidak seluruhnya, fiqh yang bersifat menghukumi dzohir atau non-indrawi (nahnu nahkumu fi Ad-Dzawahir) setidaknya bisa menjadi tolak ukur, karena Positifistik bisa dikatakan hanya mengambil hikmah dibalik reaksi/peristiwa secara obyekif, dan fiqih juga belum bisa menghukumi secara syara’ hal-hal yang non-indrawi. Karena hal tersebut bukan termasuk dalam kajiannya, kecuali ada pengkolaborasian dengan ilmu tasaawuf ataupu tauhid.         
Dalam prakteknya, Positivisme ternyata terealisasi dalam pendidikan di negeri kita, sebagai bentuk evaluasi operasional pendidikan dan sistemnya bahkan kurikulumnya, ide konstrutif yang kemudian muncul adalah bagaimnana agar siswa dapat produktif bukan sekedar konsumtif , itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan paling tidak berlandaskan positivisme.

  1. Kesimpulan dan Penutup
Comte sebagai bapak sosiologi, telah banyak berjasa dalam ilmu pengetahuan. Pemikirannya yang cemerlang telah melahirkan Positivistiknya dalam ranah ilmu penfetahuan, berdasarkan zaman perkembangan pemikiran manusia yang telah diklasifikasikannnya, positivismenya-pun makin berkembang, analisa dasar yang Comte pikirkan dalam positivisme adalah :
    1. Menginkari non-indrawi,
    2. Menolak metafisika,
    3. Fokus pada gejala-gejala fakta saja,
    4. Tidak perlu menanyakan hakikat dan penyebab, dan
    5. Comte hanya membatasi pemikirannya pada pengalaman obyektif saja.
Dari sini mungkin kita akan berfikir relevan ataukah tidak Positiviosme dalam pendidikan Islam? Ataukah cocok pada aspek-aspek yang lainnya, seperti politik, ekonommi, dan budaya?.
Demikianlah petualangan pemikiran kami yang serba minimalis, dan kiranya ide-ide dalam makalah ini dijadikan sarana kritik dan saran yang konstruktif, sehingga positivisme dapat dipahami dengan positif thingking pula.         









SUMBER BACAAN

Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah)
Bakhtiar Amsal, 2007, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, Jakarta,  Radja Garafindo Persada.
Hadiwijoyo Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius. 
Macherey Pierre, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, - Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut,1994.
Hammers Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, Gramedia.
Muhadjir Noeng, 2001, Filsafat Ilmu-positivisme, Postpositifisme, & Postmodernisme, Yogyakarta, Rakesarasin, cet I.
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany,1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Oxford Learner’s Pocket Dictionary.
Praja Juhaya S. 2003, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media.
Samsul Nizar, 2002, Filsafat pendidikan Islam-Pendekatan Historis, Teortis dan Praktis, Jakarta Selatan, Ciputat Pers, cet I.

http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/

http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 15/10/2010

http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme 

http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.
http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html





[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 87-88
[2] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 85
[3] Ibid, hlm. 86
[4] Ibid, hlm. 109-110
[5] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 133
[6]  http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 15/10/2010

[7] http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme 

[8]  Ibid.
[9] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
[10] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.
[11] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html
[12] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333
[13] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, hlm. 225 dan 227.
[14] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, Jakarta,  Radja Garafindo Persada, 2007, hlm. 114
[15] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 133
[16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, - Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut,1994. hlm. 14-5

[17] http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/

[18] Ibid, hlm 134
[19] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 110
[20]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu-positivisme, Postpositifisme, & Postmodernisme, Yogyakarta, Rakesarasin, cet I,2001, hlm. 69
[21] Ibid. hlm. 70
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama-Wisata Pemikiran & Kepercayaan Manusia, hlm. 115
[23] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 110
[24] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 134
[25] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 110
[26] Juhaya S. Praja, hlm. 135
[27] Harun hadiwijoyo, hlm. 111
[28] Juhaya S. Praja, hlm. 135
[29] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 112
[30] Ibid, hlm. 112
[31] Ibid, hlm. 112
[32] Ibid, hlm. 113
[33] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, Cet III, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 136
[35] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etikaa, hlm. 136
[36] Ibid, hlm 137
[37] Harry Hammers, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, Gramedia, 1983, hlm. 57
[38] Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 54
[39] Ibid. hlm. 46
[40] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 38
[41] Samsul Nizar, Filsafat pendidikan Islam-Pendekatan Historis, Teortis dan Praktis, Jakarta Selatan, Ciputat Pers, cet I, 2002, hlm. 68
[42] Harun hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 112