Kamis, 04 November 2010

TEKSTUALITAS HADIS DAN PEMAHAMANNYA
(Tela’ah Metodologis Penelitian Ma’an Al-Hadis/Syarh)

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A. Pendahuluan
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan-kemungkinan verifikasi ulang bahkan hingga kritik terhadap sejarahpun dapat terjadi.
Makalah ini tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Apalagi hanya untuk mengkritisi otentitasnya dalam proses periwayatannya begitupun terhadap konteks dirayahnya. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu yang terpenting sebagai sumber konsultasi umat.
Dalam ranah kajian hadis yang lebih spesifik, memang harus kita akui bahwa para pengkaji hadis terlalu kepayahan dalam mengupas aspek sanad yang merupakan aspek periwayatan hadis. Oleh karena itu perlu kita mengetahui bersama bahwa ada hal yang lebih inti dari kajian kita. Memahami Syarah hadis yang menjadi acuan dalam pemahaman hadis juga tidak kalah pentingnya dari kritik matan dan sanad hadis yang berotasi pada keabsahan atau tidaknya hadis saja, namun setelah kajian tersebut, jauh lebih dalam pemahaman akan sesuatu yang kita cari dalam hadis nabi adalah memahami inti dan makna serta kandungan hadis agar dapat teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana memahami teks hadis Nabi?, memang merupakan yang urgen untuk dikedepankan. Persoalan ini berangkat dari realitas hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Mmemahami teks hadis tentu berbeda dengan memmahami teks Al-Qur’an yang periwayatannya secara mutawattir, qath’iy al-wurud, selai itu juga keotentikannya di jaga oleh Allah Swt. Sementara hadis nabi tidaklah demikian.

B. Pemahaman (Pensyarahan) Hadis
Para ulama telah banyak mencoba melakukan pemahaman terhadap hadis yang terdapat dalam Al-kutub Al-sittah yakni dengan menulis kitab-kitab syarah terhadap Al-kutub Al-sittah tersebut. Pensyarahan terhadap hadis yang terdapat dalam kitab shohiih Bukhori, misalnya telah muncul 82 kitab syarah yang ditulis oleh beberapa ulama seperti ibn Hajar Al-Asqalani yang menulis kitab Fathul Bari’ syarah Shahil Al-Bukhori, Syamsuddin Muhammad Bin Yusuf bin Ali al-kirmani yang menulis Al-Kawakib Ad-Dirari Fi Syarah Shohih Bukhori , dan lan-lan. Begitupun dengan pensyarahan shohih muslim.
Meskipun kitab-kitab syarah tersebut banyak disusun, tetapi upaya untuk menemukan metode yang digunakan oleh ulama dalam penyusunan kitab syarah hadis tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Dalam ilmu Al-Qur’an kita akan menemukan istilah tafsir Al-Qur’an, dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsirnya dalam usaha memahami Al-Qur’an. Maka dalam studi hadis yang secara substansial sama-sama bergerak dalam wilayah penafsiran/pemahaman, sudah tentu akan dapat ditemukan upaya-upaya yang serupa dalam pemahaman Al-Qur’an, karena pada hakikatnya keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan), tetapi hakikat istilahnya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan dalam pemahaman Hadis lebih dikenal dengan istilah Syarah meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.

C. Fenomena Syarah, Tafsir, dan Ta’wil Sebagai Upaya Pemahaman.
Dengan munculnya istilah marfu’, mauquf dan maqthu’ sebagai bagian dari hadis Nabi, hal itu menjadikan kawasan definitif hadis semakin luas. Kondisi ini menyebabkan pentingnya mengupas perbedaan antara Syarah, Tafsir dan Ta’wil sebelum lebih jauh mengkaji metodologi pemahaman hadis. Istilah Syarah adalah digunakan untuk hadis Tafsir dan Ta’wil digunakan untuk Al-Qur’an, dalam memahami Al-Qur’an terjadi kontradiksi pemaknaan antara Tafsir dan Ta’wil, sekilas pengertiannya sama, namun sebagian ulama memandang lain, terutama ulama khalaf. Ada yang memandang, Tafsir mengarah pada penjelasan lafadz dan kosa katanya sedangkan Ta’wil mengarah pada susunan kalimat dan maknanya, adapula yang berpendapat bahwa Tafsir merupakan penjelasan yang berasal dari pemahan pikiran, sedangkan ta’wil adalah esensi sesuatu yag berada dalam realita, bahakan lebih dari itu adapula yang menganggap Ta’wil sebagai kajian hermeneutik terhadap pemaknaan Al-Qur’an.
Lantas kemudian timbul pertanyaan, Kenapa untuk memahami hadis digunakan istilah Syarah, kenapa bukan Tafsir atau Ta’wil? Kemudian, kenapa tidak digunakan istilah yang sama dalam menjelaskan Al-Qur’an dan Hadis? Apa sebenarnya perbedaan masing-masing diantara ketiga istilah tersebut?.
Secara historis, perkembangan pemahaman mengenai Al-Qur’an yang kemudian mewujud dalam kitab-kitab Tafsir, berkembang demikian pesat. Beribu-ribu kitab tafsir dengan berbagai coraknya, sejak abad pertama hijriyah telah bermunculan, untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya berkisar 6000 ayat. Sedangkan dalam bidang hadis, perkembanngan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya mencapai ratusan ribu dan termuat dalam sekian banyak kitab hadis yang tersusun dalam berbagai model penyusunan.
Munculnya banyak kitab tafsir serta model penafsirannya merupakan indikasi bahwa Al-Qur’an itu terbuka untuk berbagai penafsiran dan tafsir merupakan hasil kontruksi akal manusia, disamping menunjukan tidak adanya kekhawatiran bahwa aktifitas mereka akan mengurangi kemurnian Al-Qur’an. Berbeda dengan Hadis, kebanyakan ulama mendahulukan sikap reserve untuk menela’ah ulang dan mengembangkan pemikiran pemahaman hadis secara bebas, karena khwatir dianggap inkar as-sunnah. Sementara studi kritis terhadap Al-Qur’an, setingkat apapun, tidak pernah mengenal istilah inkar AL-Qur’an. Padahal, tema pemikiran terhadap hadis sangat mendesak untuk dikembangkan guna untuk mendinamisasikan pemikiran keagamaan secara lebih luas dan merealisasikan hadis sebagai sumber acuan.
Perbedaan pertama yang mencuat dalam kaitannya dengan upaya menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an dan Hadis adalah, bahwasanya penafsisan Al-Qur’an berpijak dari keyakinan haqq al-yaqin bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya merupakan firman allah yang terjamin keotentikannya. Sehingga dalam upaya menjelaskan makna ataupun kandungan Al-Qur’an akan menonjol sifat interpretasi. Sedangkan untuk memahami hadis secara mendalam makna dan maksudnya bahkan kandungannya, kita harus terlebih dahulu mengorek otentisitas hadis tersebut. An-naqd (kritik) harus dilakukan, karena dalam sejarahnya hadis memang tertulis sejak masa nabi, tetapi baru terkodifikasi beberapa abad sesudahnya.
Dengan demikian, memfilter terlebih dahulu hadis-hadis yang akan dikupas maknannya merupakan suatu keharusan dan aktivitas ini tentu saja cukup menguras banyak pikiran sehingga pada akhirnya nanti, upaya penjelasan dan pemahaman hadis Nabi bukan merupakan kiprah interpretasi.



D. Metodologi Pemahaman Hadis
Berdasarkan uraian sebelumnya (mengenai pemahaman hadis) sangat jelas kalau para ulama dahulu dalam menyusun kitab syarah menjadi sebuah keniscayaan. Hal tersebut dilakukan dengan memperoleh kerangka umum bangunan metodologis dalam pemahaman hadis. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karyanya dalam bidang syarah al-hadis . jika karya-karya tersebut dicermati maka dapat diklasifikasikan beberapa metodologi yang dipergunakan oelh para pensyarah. Metode syarah tersebut adalah metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin.
1. Metode Tahlili
a. Pengertian
Metode Syarah tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah.
Dalam menyajikan penjellasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadisyang dikenal dari Kutub As-Sittah. Pensyarahan hadis dimulai memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut baik berasal dari sahabat, para tabi’in, maupun para ulama hadis.
b. Ciri-ciri metode tahlili adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk ma’tsu (riwayat) atau ra’y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma’tsur, ditandai dengan banyaknya dominasiriwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama hadis dalam penjelasanterhadap hadis yang disyarahi. Sedangkan ra’y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
b. Pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola komperhensif dan menyeluruh.
c. Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) dari hadis yang dipahami jika hadis yang disyarahi tersebut memiliki wurudnya.
d. Terdapat penjelasan munasabah (hubungan antara satu hadis dengan hadis lainnya).
e. Kadang diwarnai oleh kecendrungan dan keberpihakan pensyarah kepada salah satu madzhab tertentu.
c. Berikut ini diantara kitab-kitab syarah yang menggunkan metode tahlili :
1) Fath al-Bari’ bi Syarh shahih al-Bukhari karya Ibn Hajar Al-Asqalani.
2) Irsyad al-Sari al Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibn Al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani.
3) Al-Kawakib al-Darari fi Syarh Shahi al-Bukhari karya Syamsul al-Din Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani.
4) Syarh al-Zarqani Muwatta’ al-Imam Malik karya Muhammad bin Abd al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani, dan lain-lain.
d. Kekurangan dan kelebihan
Kelebihan yang dimiliki oleh metode Syarh tahlili antara lain :
1) Ruang lingkup pembahasan sangat luas.
2) Memuat berbagai ide dan gagasan.
Kekurangan metode ini adalah :
1) Menjadi petunjuk hadis parsial.
2) Melahirkan Syarar yang subyektif.



2. Metode Ijmali
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kuub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literah hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.
Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarahan, metode ini tidak berbeda dengan metode tahlili yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis. Selain itu gaya bahasa digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak tahu benar redaksi matan hadis yang disyarahnya, kadang kala tidak dapat memilahkan mana yang hadis dan mana yang syarahnya.
b. Ciri-ciri metode ijmali adalah sebagai berikut :
1) Pensyarah melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2) Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebayak-banyaknya.
3) Penjelasannya umum dan sangat ringkas, sehingga tidak seluas metode tahlili.
c. Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmali antara lain ;
1) Syarh as-Suyuti li Sunan al-Nasa’i karya Jalal al-Suyuti.
2) Qut al-Mughtazi ’Ala jami’ al-Turmudzi karya Jalal al-Din al-Syuti.
3) ’Aun al-Ma’bud Syarh SunanAbi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi, dan lain-lain.
d. Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan yang dimiliki oleh metode ijmali adalah :
1) Rinkas dan padat
2) Bahasa Mudah
Kekurangan pada metode ini adalah :
1) Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial.
2) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
3. Metode Muqarin
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode muqarin adalah metode memahami hadis dengan cara : (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunkan metode muqarin ini mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.
b. Ciri-ciri metode muqarin adlah sebagai berikut :
1) Perbandingannya tidak terbatas pada perbandingan analisis redaksional (mabahis lafdziyyah) saja, melainkan perbandinggan penilaian periwayat, kandungan makna dari masing-maing hadiis yang diperbandingkan.
2) Pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut.
3) Pembahasan yang menjadi obyek perbandingan adalah berbagai pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah pensyarah dalam suatu hadis, kemudian melakukan perbandingan diantara berbagai pendapat yang dikemukakan itu.
4) Analisis sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang kemiripan dari hadis-hadis atau antara hadis yang tampak kontradiktif.
5) Penjelasan syarah dimulai dengan menjelaskan pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.
c. Kitab-kitab yang menggunakan metode muqarin adalah :
1) Shahih Muslim bi Syarh Nawawi karya Imam Nawawi.
2) Umdah al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari ¬karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, dan lain-lain.
d. Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan menggunakan metode ini adalah :
1) Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lain.
2) Membuka pintu untuk selalu bersikaptoleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda.
3) Pemahaman dengan metode ini sangat berguna bagi meraka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-pendapat para pensyarah yang lainnya.
Kekurangan dalam metode muqarin ini adalah :
1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit baginya untuk menentukan pilihan.
2) Metode ini tidak dapat diandalkan utnuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang ditengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3) Metode ini terkesan llebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.

E. Pendekatan Dalam Melengkapi Pemahaman Teks Hadis
Hadis Nabi yang telah mengalami pensyarahan yang mendalam dengan kuantitas yang tidak seditit, tentu hadis-hadis Nabi memiliki motif dan bentuk matan yang berbeda-beda, yakni seperti matan yang berbentuk jami’ al-kalim (ungkapan yang singkat namun penjang maknanya), tamsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), qiyas (ungkapan analogi), dan lain-lain. Dari banyaknya bentuk penyampaian hadis nabi ini, menurut kami diperlukan pendekatan urgensitatif terhadap pemahaman hadis tersebut, terutama kajian tekstual sebagai awal pemahaman substansial yang lebih universal sebbelum kontekstual.
Ada beberapa pendekatan yang bisa membantu dalam upaya pemahaman tekstualitas hadis, diantara tawaran pendekatan dari para ulama klasik karena kepedulian meraka pada umat Islam adalah : (1) Ilmu Gharib al-Hadis, (2) Talfiq al-Hadis, (3) Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, (4) Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, (5) Ilmu I’lal al-Hadis, dan sebagainya.

1) Ilmu gharib al-Hadis, adalah :
علم يعرف به معنى ما وقع فى متون لأحاديث من الألفاظ العربية عن أذهاب الذين بعد عهدهم باالعربية الخالصة
” Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”

2) Talfiq al-Hadis, adalah :
علم يبحث فيه التوقيف بين الأحاديث المتنافضة ظاهرا
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya”.

3) Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, adalah ;
علم يعرف به السبب الذى ورد لأجله الحديث و الزمان الذي جاء فيه
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Saw menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi Saw menuturkan”.

4) Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, adalah :
علم يبحث فيه عن الناسخ و المنسوخ من الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan menasikhkkannya”.

5) Ilmu I’lal al-Hadis, adalah :
علم يبحث فيه عن أسباب غامضة حفية فادحة صحة الحديث
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan Hadis”.

F. Hermeneutik Sebagai Alternatif Solusi
Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan. Hermeneutik kemudian diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Problematika Hermeneutik pada dasarnya problematika yang berkait dengan bahasa, karena untuk berpikir, menulis, berbicara, mengerti bahkan interpretasi, semua menggunakan bahasa. Tugas Hermeneutik yang paling utama memang untuk memahami teks. Menurut Gadamer, suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menyelam di balik bahasa yang digunakan.
Pemahaman memang memasukkan unsur subyektif, sehingga jarang sampai pada dataran obyektif. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis diluar kerangka ruang dan waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam menginterpretasi seseorang harus dituntut untuk membuang jauh-jauh segala bentuk pra-konsepsi, dan sebaliknya dalam menginterpretasi harus sesuai dengan apa yang dimiliki (vorhabe), apa yang dilihaat (vorsicht) dan apa yang diperoleh kemudian (vorguff).
Dalam memahami teks yang hadir di hadapan kita, setidaknya tiga variabel utama yang saling berkaitan yang harus kita ketahui. Antara lain : teks, pengarang, dan pembaca. Ketiganya dihubungkan oleh alat bantu, yaitu bahasa. Tentu tanpa medium itu tidak akan ada pemahaman yang komperhensif. Dari sinilah kemudian terlintas kata Bahasa Arab yang bagi kalangan umat Islam merupaka bahasa yang memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi. Oleh karenanya untuk memahami suatu Hadis yang hadir dalam bahasa Arab (balaghah, dan manthiq) merupakan satu persyaratan untuk sampai pada taraf pemahaman yang komperhensif.
Sebenarnya penggunaan Hermeneutik sudah melampaui pada taraf pemahaman Teks Hadis, karena akan lebih mendalam pemaknaannya dan luas jangkauan pemahamannya, sebab selain telah mencakup grametika bahasa, juga pada tingkat falsafi bahkan menyentuh kontekstual historis, sehingga Hadis yang menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an, dapat benar-benar menjadi pegangan umat Islam.

G. Kesimpulan
Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa perkembangan syarah hadis dan metodologinya kalah jauh dibandingkan perkembangan tafsir Al-Qur’an dan metodologinya. Terhadap Al-Qur’an, dengan mudah akan bisa ditemukan berbagai kitab tafsir dari berbagai macam corak, aliran, pendekatan dan metode penafsiran. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan syarah hadis.
Berangkat dari kesadaran atas perkembangan syarah hadis tersebut, berbagai tawaran metodologi untuk memahami hadis banyak dikemukakan oleh pemerhati hadis. Metodologi yang ditawarkan tersebut di antaranya adalah metode tekstualitas hadis dan metode hermeunetik. Salah satu kelemahan metode-metode yang ditawarkan tersebut antara lain disebabkan karena mencangkok metode dari luar ilmu hadis, sehingga mengakibatkan susah dioperasionalisasikan dalam ilmu hadis dan miskin contoh penerapannya.
Pemahamannya adalah pertama, mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an, kedua, dengan hadis-hadis setema, ketiga pendapat ulama', dan keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan. Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyya (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks) kerana pada hakikatnya dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Implikasi dari metode pamahaman dalam pemahaman hadis Nabi, di antaranya, pertama, pemahaman teks hadis harus berasal dari teks, kedua, pentingnya pendekatan secara majazi dan bentuk matan yang ada serta bagaimana sikap terhadap hadis-hadis yang sulit difahami, tanpa terkecuali hadis metafisik dan sifat-sifat Tuhan, ketiga, riwayat bi al-ma'na tidak dapat dikesampingkan dalam pemahaman teks hadis.
Begitulah segala fenomena yang berkaitan dengan puas atau ketidakpuasan logika dan rasionalisasi pemikiran manusia, tidak ada metode yang terbaik karena yang terbaik adalah metode untuk tidak putus asa dalam memahami inti dari sebuah Hadis Nabi sebagai sumber ajaran kedua setelah Firman-Firman Allah yang maha sastra. Esensi dari pemahaman adalah reaksinya dalam kehidupan sehari-hari, lantas bagaimana kita mengikuti sunnah rasul jika pemahaman belum tuntas, dan bagaimana kita bisa menuntaskannya jika tak bisa memahami metode pemahaman yang tepat terhadap hadis Nabi.

~ Wallahu A’lam…~.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Amin, 1996, Studi Agama : Normativitas, Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ad-Din As Suyuthi Jalal, 911 H ,Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, jilid 2
Al-Farmawi Abu Al-Hay, 1977, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.
Ali Nizar, 2001, Memahami Hadis Nabi (Metode & Pendekatan), Yogyakarta : CESaD YPI-Al-Rahman
Hidayat Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta : Paramidana
Palmer Richard E., 1969, Hermeneutics, Evanston : Northwestern Univ. Press.
Rahman Fazrul dkk, 2002, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Sumaryono E., 1993, Hermeneutik : sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius.
Sutari Endang, 1997, Ilmu Hadis, Bandung : Amal Bakti Press, cet II.
Syahudi, 1994, Hadis Nabi yang Tekstual & Kontekstual (Tela’ah Ma’ani al-Hadist ttentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal ), Jakarta : Bulan Bintang.
Zuhri Muh, 2003, Tela’ah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis), Yogyakarta : LEFSI.