Jumat, 03 Desember 2010

CERPEN

Gelang Nun ‘Ainun
Oleh : Muhammad Alfithrah Arufa*

Makan malam sudah tiba waktunya, suasana meja dapur rumah pak ‘Ainun masih dan akan sepi dari kehadiran manusia, hanya ada beberapa piring keramik kotor yang mengatup di tengah meja makan yang terbuat dari bambu kuning, gelas-gelasnya pun terbuat dari bambu, tertata rapi di tepi meja dan ditemani sebuah kendi agak dingin yang tampak kosong isinya, ada sedikit tetesan air di jalur retaknya kendi itu. Suasana ruangan dapur yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya kegunaan dapur rumah, sepi tak terawat. Cuaca rumah bapak ‘Ainun hampir sama dengan hawa udara di luar rumahnya, saat itu langit tampak mendung dengan semerbak angin-angin kecil yang terus menyemilir di sela-sela kaki rumah yang tak berbeton itu. Pak ‘Ainun masih terus berdiam diri dan memendung dalam kamarnya yang berukuran 6 x 3 meter persegi, jam dinding yang menggelantung di tengah kamarnya telah menunjukan pukul 20:20 waktu kampung Murhum, pak ‘Ainun terus melamunkan dirinya, berperang dalam sanubarinya yang hampa seorang diri, hanya ditemani rumah berdesain bambunya yang sudah tua rapuh lengkap dengan perabotannya yang klasik dan kuno, tempat bermukim yang lebih tua dari umurnya sendiri, rumah yang mulai dari pasak hingga tiangnya serba dari bambu itu adalah warisan orang tuanya setahun sebalum kemerdekaan terproklamasikan di negeri ini. sembari detik terus berlari, tatapan pak ‘Ainun makin tajam mengarah pada foto-foto kusam terbingkai kulit bambu yang menempel pada tembok anyaman kamarnya, ada sedikit cahaya menyebar dari ujung sumbu lampu minyak yang terbuat dari bekas kaleng susu. hatinya beradu dalam ratapan tangisan yang mendayu sedu dalam pandangan foto-foto tiga almarhumah isterinya, tersimpan seribu pesan yang sulit terungkap dari benak seorang ‘Ainun, makin membisu dengan tatapan mata yang digilirnya pada satu persatu foto-foto istrinya itu. Terus secara bergantian, seirama dengan detak detik jarum jam dinding kamarnya.
***
Konon kabarnya pak ‘Ainun adalah seorang putra saudagar kaya pada zaman orde baru, rumah warisan itu sengaja tidak dirombak atau direnovasi sesuai dengan perkembangan tekstur dan arsitek bangunan yang berkembang tiap tahunnya, hal ini karena pak ‘Ainun telah mendapatkan amanat dari almarhum ayahandanya, untuk tetap memelihara dan melestarikan rumahnya itu sampai pada keturunan kelak. Amanat dan warisan yang akan berantai terus hingga ada dzat yang menghentikan perjalanan rantai itu. Tidak ada alasan yang yang jelas kenapa amanat itu harus dilimpahkan padanya, seolah tiada taranya, begitu kuat dan penuh nilai yang berharga di dalam rumah bambunya itu, sampai-sampai harapan target amanat almarhum ayahandanya itu begitu jauh menuju kepada keturunan pak ‘Ainun kelak, bahkan akan melebihi kekuatan rumah itu sendiri, amanat yang terus akan dimakan oleh kerasnya gejolak alam ini. Sanggupkah dirinya mengukir amanat tersebut, batinnya kemudian berkecamuk kencang. Memecah dalam pikirannya yang beradu dengan hatinya.
Malam semakin larut, tubuh pak ‘Ainun semakin lemah, malam itu perutnya belum sempat ia ganjal dengan sedikit makanan pokoknya, gemuruh guntur mengiramai deru lambung kosongnya, awan yang mendung gelap sejak malam tadipun pecah dan gerimis besar mengguyuri kampung Murhum, mulai deras dan makin deras, lidah-lidah petir terus menjilat-jilat, menyambarkan percikan cahaya retak di mana-mana, menerangi setiap cela kosen dan jendela rumah pak ‘Ainun. Dalam keadaan seperti itu pak ‘Ainun belum juga merubah cuaca hatinya, ia masih tetap dalam lamunannya, amanat ayahandanya yang telah merekat di otaknya, dihafalkannya bahkan telah ia tulis di belakang foto almarhumah isteri pertamanya, amanah yang terus menghantuinya dalam keadaan bagaimanapun. Dia hanya berfikir kemanakah amanah itu akan dia berikan ketika nafas dan jantungnya berhenti seketika itu juga. Sebab ketiga isterinya yang telah wafat lebih dahulu belum sempat memberikan satupun keturunan dalam kehidupannya. Di usianya yang mulai lanjut itu dia takut jika kelak tidak ada yang menjaga rumah bambu warisan dan amanahnya itu. Hidup sebatang kara di rumah yang penuh amanah, membuatnya hampa dan lupa akan segala hal di luar rumahnya sana, dia tidak mau tahu lagi dengan ributnya kejadian di lereng sebrang timur sana, bahkan suara sirene tanda bahaya dari balai desa membisu di telinganya. Bagai deru angin yang numpang lintas di gendang telinganya saja, tak ada perubahan.
***
Sementara di luar rumah, kampung Murhum menangis dan menjerit keras, semua warga berlarian menuju bukit Wolio di sebelah barat kampung, telah tiba waktunya sholat subuh namun adzan subuh tidak sempat lagi berkumandang di petala kolong lagit Murhum, panik dan takut menyelimuti seluruh kampung, merasa dikejar amukan sirene dari balai desa kampung Murhum, digempar oleh dentuman guntur berpetir yang terus menggelegar dan memecah langit dengan cahayanya yang panas. Ada teriakan penuh duka dari kerumunan warga kampung, “Banjiiiiirrr…., banjiiiiirrr…., cepat semua ke bukit…!!!”, sungai Laiwoi meluap deras menuju bantaran sungai, menyelinap cepat dan bertamu di setiap rumah-rumah warga kampung Murhum, air kini tak bersahabat dengan mereka, walau sungai Laiwoi merupakan sumber utama kehidupan warga, kini sungai itu seolah menuntut haknya pada mereka. Dengan pakaian seadanya, dengan kondisi bangun tidur yang reflektif, warga terus berlarian sambil berteriak dalam guyuran hujan bersama badai yang makin deras, gesekan hutan bambu makin beradu keras di bukit Wolio. Anak-anak dan wanita sepuh yang beruban terus menangis dan gemetar, air mata, air hujan dan air sungai seolah berencana dan bekerjasama kompak dalam keadaan seperti ini. Semuanya mengalir deras dan membasahi makhluk apapun.
Warga sudah tidak peduli dengan harta bendanya yang ada di dalam maupun di luar rumah mereka, sesampai di bukit Wolio mereka sempat melirik aliran sungai yang makin cepat tinggi menggapai atap rumah mereka, batin mereka kacau sambil menjerit, menggelengkan kepala yang mualai panas, mengingat keringat mereka selama ini, dan sekilas memaksa mengingat kuasa tuhannya. Mereka hanya bisa berteduh dan mengaduh pada daun-daun bambu yang menghutan di bukit Wolio itu, namun ternyata bambu bukan selimut dan atap yang menderma bagi mereka saat itu, sekitar 313 warga Murhum mulai menggigil, sekujur tubuh mereka basah kuyup, lebih dingin dengan udara embun subuh yang masih menyembunyikan sinar matahari di balik tebalnya awan kelam itu. Dengan cepat kemudian salah seorang warga mengarahkan semua warga untuk mengungsi dan berteduh di sebuah rumah sederhana yang bertembok anyaman bambu, rumah yang berada di bukit wolio dan sepertinya telah lama bersarang di tengah-tengah semak hutan bambu yang terus bergesekan dan mengeluarkan suara himpitannya yang beradu antara kulit dan tubuh bambu, ribut.
***
Ada sepercik cahaya lampu minyak yang kedap-kedip terhempas angin dari arah cela ventilasi rumah Pak ‘Ainun, teduh dan tenang tampak dari luar rumah, namun seketika tiba-tiba berubah gaduh dan ramai…, telah siap dari luar rumah, ratusan warga berlarian menuju kediaman bambu pak ‘Ainun, seorang warga menggedor-gedor pintu rumah itu, berkalil-kali, namun tak ada jawaban yang keluar dari dalam rumah itu.
“Pak ‘Ainun…pak…, pak ‘Ainun…,buka pintunya pak…!!!” teriak seorang Kakek tua dengan suara seraknya.
lama warga menunggu dalam guyuran hujan, lalu dengan inisiatif seorang pemuda yang sudah tidak sabar lagi, pintu-pun didobrak dengan paksa, hanya dengan sekali dobrakan pintu tua itupun terhempas membuka dan sisinya-pun rusak bahkan patah berantakan. Rumah sempit berlantaikan tanah itu kemudian dihinggapi ratusan warga Murhum yang masih selamat, menyempit dan berebutlah warga mencari posisi yang aman dan terteduh, setiap pojok rumah itu di tempati oleh warga, hanya bisa duduk melipat lutut sambil meratapi dukanya masing-masing, mereka tidak bisa membaringkan badan. kebanyakan pria muda warga bejaga-jaga dan tetap bertahan di luar rumah, beradu dengan badai dan gemurh hujan yang tak reda-reda juga.
Belum lama mereka berebut ketenangan di dalam rumah bambu itu, tiba-tiba terdengar teriakan keras seorang wanita paruh baya. Suaranya menggema dari arah kamar pak ‘Ainun, dan teriakan wanita lainpun susul menyusul dari arah kamar itu, sekejap suasana rumah berubah panik dan rasa takutpun mengalir. Seorang pria muda yang mendobrak pintu tadi kemudian menghampiri arah suara itu, bukan main terkejutnya pemuda itu, “Innalillahi wa innalillahi raji’un”, bisik lirih pemuda itu dengan jemarinya menutupi mulutnya, terkejut sekali. Puluhan wanita di sekitar mayat pak ‘Ainun mulai histeris katakutan, tangisan takut wanitapun menggema di kamar itu. Tak ada yang tahu kapan pemilik rumah itu menghembuskan nafas terakhirnya, sebagian besar warga banyak yang tidak mengenal pak ‘Ainun, karena sifatnya yang selalu individual, bahkan merekapun baru mengetahui kalau di bukit wolio dan di tengah hutan bambu ini bertahta sebuah rumah kuno yang berdiri kokoh. Hanya kakek Andolo yang kenal persis dengan pak ‘Ainun dan keluarganya, mantan kepala desa yang menjabat pada tahun 1956-1960 itu kemudian menghampiri jenazah pak ‘Ainun, terasa olehnya hikmah dari bencana yang di alami warga Murhum kala itu, ratusan botol minuman tradisonal panas beralkohol yang bernama kameko tertata di bawah ranjang pak ‘Ainun, itulah kebiasaan yang dilakukan oleh pak ‘Ainun selama ini, dan tidak menutup kemungkinan hiburan air beralkohol ini juga biasa dilakukan oleh warga kampung Murhum sejak dahulu. Hilangnya budaya adzan, kurangnya niat mengangkat sajadah dan mengingat penciptanya, serta sulitnya sifat sosial warga antara sesamanya. Itu yang dirasakan kakek paruh baya itu selama dia hidup di kampung Murhum.
Kakek Andolo melihat-lihat sekitar kamar pak ‘Ainun, banyak interior bambu yang menempel di tembok kamar pak ‘Ainun, bingkai foto-foto indah, sebuah lukisan kiblat umat islam seluruh dunia juga terpampang di sana, sebuah kaligrafi surat Al-fatihah yang terbuat dari potongan bambu menggantung miring tepat di atas kepala jenazah pak ‘Ainun, ada nama pengarangnya di pojok klaigrafi bambu itu, Ahmad Abdullah Lainea 1925, “ya… ini adalah karya almarhum ayah pak ‘Ainun, seorang saudagar kaya pada zamannya”, otaknya mengingat-ngingat cerita ayahnya sendiri kala Andolo berusia 15 tahun dulu. Sementara di luar rumah pak ‘Ainun hujan mulai reda, perlahan awan gelap menyingkir seolah mempersilahkan cahaya mentari menerobos cela-clela awan itu. Ada sedikit ketenagan dan kehangatan dalam suasana duka itu. Bersamaan dengan masuknya sinar matahari di kamar pak ‘Ainun dan menyinari lafadz Ar-Rahman kaligrafi Al-Fatihah yang miring posisinya itu, ujung sudut bingkainya mengarah pada jenazah. Kakek Andolo pun melototi dan membaca kalimat lafadz yang terkena sinar matahari itu. Ada yang kurang menurutnya, makin dekat ia melihatnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, ya hanya terbaca Ar-Rahma, kurang sau huruf disana, huruf nun yang melengkung dan menggandeng huruf mim ternyata tidak ada di sana. Hanya ada titiknya di atas, “lantas dimanakah huruf nunnya?”, Tanya kakek Andolo dalam hatinya. seolah ada seribu isyarat yang ingin dititipkan pak ‘Ainun dalam peristiwa ini. Entah apa maksud dengan hilangnya huruf nun lafadz yang bermakna maha pengasih itu. Kakek Andolo memutar pikirannya sambil melihat-lihat sekitar kamar, mengamati dengan hati-hati setiap keanehan di ruangan itu.
Ada yang mengganjal di hati kakek Andolo saat melihat tetasan darah dari arah tepi kiri kain selimut yang membungkus pak ‘Ainun, tetasannya makin deras, dan ketika di buka ternyata pergelangannya terseleti oleh gelang yang di pakainya, gelang bambu yang unik dan tajam sisinya. Gelannya tidak melingkar penuh.
“Seperti bulan sabit, atau seperti ….???, ya seperti huruf nun”, tegas kakek dalam hatinya sambil melirik sekilas pada lafadz yang tadi dipertanyakannya.
“Hanya luka kecil bekas goresan gelang tajam ini, matinya ternyata bukan karena usaha memutus nadinya sendiri”, sahut kakek meyakinkan dirinya. Diambilnya gelang berbentuk nun pak ‘Ainun itu lalu di tempelkan bersanding dengan huruf mim pada lafadz Ar-Rahma. Dengan bantuan sedikit darah yang masih menetes, nun itupun melekekat erat. “sempurna”, bisik kakek Andolo sambil memetik hikmah bisikan Allah yang harus didengar oleh warga Murhum yang sedang diuji Allah lewat bencana air ini. Kasih sayang Allah selalu ada buat seluruh makhluk-Nya, namun terkadang kita sendiri yang tidak mau mengasihi dan menyawangi Sunnatullah itu sendiri, dimanakah keadilan saat kita belum adil pada makhluknya yang lain?.
***
Dalam perjalanannya, setelah jenazah pak ‘Ainun di makamkan di sekitar semak belukar hutan bambu, hari berganti tahun dan ternyata bukit Wolio kini menjadi lahan usaha baru bagi warga Murhum yang kehilangan segala hartanya sebab amukan air kala itu. Mayoritas warga Murhum adalah Muslim, merekapun mengabadikan kaligrafi surt Al-Fatihah peninggalan keluarga bapak ‘Ainun sebagai sebuai inspirasi baru dalam kehidupan baru mereka di lahan bambu itu. Rumah Bambu peredam duka kala itu, masih terawat dan dilestarikan hingga kini, bahkan sebagian warga mulai membuat rumah bambu di sekitar kediaman almarhum pak ‘Ainun. Tidak hanya itu, sebuah masjid megah berinterior bambupun mereka dirikan dengan kokoh di tengah kampung itu, mesjid itu bernama Masjid Ar-Rahman. Sangat terasa keakraban yang mereka ukir bersama-sama dalam shaf kala adzan dan iqomah telah berkumandang. Ternyata bagi warga Murhum, Warisan dan Amanah akan lebih berkristal jika di lestarikan bukan dipikirkan dan terus dicitrakan bukan dilamunkan, apalagi dirusak tanpa rasa tanggung jawab. Usaha design dan pembuatan kaligrafi ala bahan bambu di kampung Murhum kini menembus pasaran internasional, terutama Negara-negara islam di sekitar jazirah Arab begitupun dengan kota-kota besar di dalam negeri. Ada getaran tersendiri bagi mereka saat tangan mereka mangukir ayat-ayat-Nya dari alam ciptaan-Nya, ada upaya mengamalkan bahkan mengalamkan ayat-ayat itu.
***


* Penulis adalah Mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta